Bagi orang yang mengerti tentang kesenian pewayangan, pasti dengan mudah bisa membedakan antara wayang kulit dan wayang orang. Disebut wayang kulit oleh karena wayang yang dimainkan dibuat dari kulit. Begitu pula wayang orang, para pemainnya adalah orang yang dilatih untuk memainkan peran-peran tertentu.
Bagi seorang dalang tentu lebih mudah memainkan wayang kulit dibanding dengan wayang orang. Memainkan wayang kulit lebih mudah oleh karena wayangnya terbuat dari kulit yang merupakan benda mati. Dalangnya bisa memainkan berbagai jenis wayang sesukanya, asalkan masih sesuai dengan karakter wayang dimaksud. Wayang kulit sangat tergantung pada dalangnya. Suatu saat wayang tertentu dikeluarkan dari kotak tempat penyimpannya, atau sebaliknya, dimasukkan lagi tergantung kemauan dalangnya.
Otoritas dalang wayang orang sebenarnya sama dengan yang dimiliki oleh dalang wayang kulit. Perannya sebagai dalang, ia juga bisa memainkan berbagai jenis wayang semaunya. Akan tetapi, oleh karena dalang wayang orang memainkan benda hidup, apalagi berupa orang, maka akan lebih sulit. Kapan dan di mana saja, orang tidak selalu mudah diatur. Tatkala harus memainkan orang itulah, otoritas dalang tidak sepenuhnya bebas.
Sebagai wayang, ---------dalam pertunjukkan wayang orang, pemainnya harus sepenuhnya mengikuti arahan dalang. Apapun yang diperintahan oleh dalang, maka pemainnya harus patuh. Akan tetapi, sekalipun menjadi pihak yang dimainkan, orang tetap memiliki kemauan dan kamampuan yang berbeda, termasuk dengan dalangnya. Apa yang dimaui dan dilakukan oleh seseorang tatkala berperan sebagai wayang tidak selalu sama dengan yang diarahkan oleh dalangnya. Mereka bisa saja melakukan kenakalan, misalnya, bermain sesuai dengan kemauannya sendiri.
Membayangkan permainan wayang orang, mengingatkan pada peran seorang pemimpin. Memimpin orang banyak sebenarnya mirip dengan bekerja sebagai dalang wayang orang. Dalang wayang orang atau pemimpin, harus mengatur banyak orang dengan berbagai karakternya. Tentu tugas itu tidak mudah. Menggerakkan dan mengarahkan orang pasti memerlukan seni. Artinya, oleh karakter manusia selalu berbeda-beda, maka cara memimpinnya juga harus menggunakan pendekatan yang berbeda-beda pula.
Sebagai contoh, betapa tidak mudahnya menjadi dalang wayang orang, di antaranya tatkala berharap agar seseorang melakukan peran sebagai janoko, ternyata yang dimainkan adalah peran sebagai petruk. Mestinya menjadi semar, ternyata ia lebih kelihatan sebagai sengkuni. Begitu pula, seseorang yang sosok tubuhnya lebih tepat menjadi petruk, ternyata menghendaki peran sebagai Puntodewo. Maka artinya, dalang wayang orang menjadi lebih sulit dibanding dengan dalang wayang kulit.
Begitu pula seorang pemimpin. Memberikan peran-peran kepada berbagai orang yang berbeda-beda, ternyata belum tentu berhasil dimainkan secara tepat. Seorang yang seharusnya melakukan peran sebagai pengawas, ternyata yang bersangkutan sendiri perlu diawasi. Seorang yang seharusnya mengamankan uang, ternyata malah justru menjadikan uangnya hilang semua, seorang yang seharusnya melakukan peran sebagai algojo, malah dia sendiri yang harus dihukum, dan seterusnya.
Beban pemimpin menjadi sangat jelas, yaitu mirip dengan dalang wayang orang. Apa yang dimaui belum tentu berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Itulah resiko sebagai dalang wayang orang atau pemimpin manusia pada umumnya. Apa yang diperintahkan belum tentu dikerjakan, dan sangat mungkin justru dirusak, hingga apa yang diinginkan menjadi berantakan semua. Bahkan, beban pemimpin itu menjadi semakin berat tatkala perilaku orang sudah semakin sulit diatur seperti sekarang ini. Wallahu a'lam.
Dalang adalah sebutan untuk orang yang memainkan wayang, ada beberapa arti dari kata dalang itu sendiri diantaranya: 1. Dalang asal kata dari dalung/blencong (bahasa Jawa)/lampu = alat penerang. Dengan alasan demikian, maka fungsi dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang memberi penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya beraneka ragam. 2. Dalang berasal dari kata bahasa Jawa: Dhal adalah kependekan dari kata ngudhal = menggali; dan lang kependekan dari kata piwulang = piwuruk = petuah/nasihat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah orang yang menggali nasihat/petuah untuk disampaikan/disebarkan kepada para penonton wayang. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat. 3. Dalang berasal dari kata da = veda = pengetahuan dan lang = wulang. Dalang adalah pengetahuan mengajar, di sini dalang dapat diartikan sebagai guru masyarakat. 4. Dalang berasal dari kata talang = alat penghubung untuk mengalirkan air. Dalam hal ini dalang bertugas sebagai penghubung/penyambung lidah, baik pesan dari pemerintah kepada masyarakat, maupun sebaliknya. 5. Dalang adalah pemimpin, penyusun naskah, produser, juru cerita dan memainkan wayang. Pendapat ini dikemukakan oleh Claere Holt (seorang sarjana Barat) dalam bukunya : Art In Indonesia Continintees, and Change, 1960. 6. Dalang adalah seniman pengembara, sebab apabila mengadakan pementasan tidak hanya di satu tempat, tetapi berpindah-pindah. Menurut Drs. Sudarsono, pendapat ini dikemukakan oleh Hazou (seorang sarjana Barat juga). 7. Dalang berasal dari kata dal = dalil-dalil, dan lang = langgeng. Ini adalah pendapat seorang dalang kasepuhan dari Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon, yang bernama Dulah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah seorang yang memberi dalil-dalil atau petuah-petuah/wejangan/wejangan selama hidupnya. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat. 8. Dalang adalah seorang aktor/aktris yang memainkan pagelaran wayangnya menurut ilmu dan tata cara yang telah ditentukan. Definisi ini dikemukakan oleh Juju Sain Martadinata, Alm. (eks Guru Kokar / SMKI Bandung). 9. Dalang berasal dari kata Dalilun lamnya ada dua yang satu lamnya dihilangkan dan ganti oleh tasjid menjadi dala. Menurut ahli sorop dala ya dulu dilalatan fa-hua daa-lun. Isimnya isim fa’il artinya petunjuk. Pendapat ini dikemukakan oleh Asep Sunandar Sunarya (dalang legendaris tanah Pasundan)
Dalang mangrupikeun istilah pikeun jalma anu maénkeun wayang, aya sababaraha hartos kecap dalang téa kalebet: 1. Dalang di tukangeun kecap tina dalung / blencong (jawa) / lampu = pencahyaan. Alesan ieu, fungsi dalang di masarakat mangrupikeun juru tarjamahan, atanapi langkung khusus, dalang nyaéta jalma anu nyayogikeun inpormasi sareng petunjuk pikeun jalma tina tingkat sosial anu béda-béda. 2. Dalang asalna tina kecap Jawa: Dhal pondok kanggo ngudhal = ngagali; sareng lang pondok kanggo kecap piwulang = piwuruk = pituah / pituah. Ku sabab kitu tiasa diinterpretasi yén dalang mangrupikeun jalma anu ngagali naséhat / naséhat anu bade dikirimkeun / disebarkeun ka pamiarsa wayang. Di dieu fungsi dalang mangrupikeun salaku pendidik / pituduh masarakat atanapi guru komunitas. 3. Dalang asalna tina kecap da = veda = pangaweruh sareng lang = wulang. Dalang mangrupikeun ngajarkeun pangaweruh, didieu dalang tiasa diinterpretasi salaku guru komunitas. 4. Dalang asli asalna tina kecap chamfer = cara nyambungkeun kana cai solokan. Dina hal ieu dalangna ngagaduhan pancén pikeun nyambungkeun / ngahubungkeun létah, boh pesen ti pamaréntah ka masarakat, sareng sabalikna. 5. dalang nyaéta pamimpin, tukang daptar, produser, carios sareng carita wayang. Pamadegan ieu dinyatakeun ku Claere Holt (sarjana Kulon) dina bukuna: Art In Indonesia Continintees, and Change, 1960. 6.Dalangna mangrupikeun seniman ngumbara, sabab nalika ngayakeun henteu ukur di hiji tempat, tapi obah-obah. Numutkeun ka Drs. Sudarsono, pamanggih ieu dikedalkeun ku Hazou (sarjana ogé Kulon). 7. dalang asalna tina kecap dal = postulat, sareng lang = awét. Ieu mangrupikeun pamanggih para dalang Kasepuhan ti Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, nami Dulah. Ku sabab kitu tiasa diinterpretasi yén dalang nyaéta jalma anu masihan usul atanapi saran / saran / wacana salami hirupna. Di dieu fungsi dalang mangrupikeun salaku pendidik / pituduh masarakat atanapi guru komunitas. 8. dalang mangrupikeun aktor / aktris anu ngalaksanakeun pintonan wayangna dumasar kana élmu sareng prosedur anu ditangtukeun. Definisi ieu diteruskeun ku Juju Sain Martadinata, Alm. (tilas Guru Kokar / Sakola Luhur Bandung). 9. dalang téh asalna tina kecap Dalilun di mana aya dua anu hiji dileungitkeun sareng diganti ku masjid pikeun janten dala. Numutkeun ahli ahli sorop jaman baheula, éta biasa aya dina parabot fa-hua daa-lun. Isim isim nembil hartosna hint. Pamadegan ieu ditepikeun ku Asep Sunandar Sunarya (dalang legendaris tanah Pasundan)
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Contoh:~ gerakan pemberontakan itu telah tertangkap;
Dalam kosmologi manusia Jawa, dalang menjadi rujukan tentang tata nilai dan pengatur ritme yang mampu memberikan visi dalam kisah-kisah kehidupan. Dalang, dalam artian harfiah, merupakan seorang yang mengomando pementasan wayang. Sebagai orang yang memainkan lakon demi lakon, pada hakikatnya dalang mementaskan nilai-nilai kehidupan pada setiap kisahnya.
Bagaimana memaknai dalang dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini? Di tengah pertarungan politik yang kian panas, kita perlu menganalisis tentang bagaimana posisi dalang dan strategi lakon wayangnya. Dalang, dalam ranah kesenian, memang menjadi rujukan pementasan wayang, tapi dalam ranah politik, ia bisa bermetamorfosis menjadi sutradara dalam panggung kekuasaan. Dalang politik tidak sekadar mencari lakon yang sesuai dengan wayangnya, namun juga mampu mengatur ritme, menjadi makelar, hingga menyusun alur logika bagi wayang-wayangnya di panggung kuasa.
Untuk itu, perlu ada kecermatan analisis, siapa dalang, siapa wayang. Di panggung politik saat ini, perlu menakar kapasitas orang-orang yang berkompetisi: apakah dia sesungguhnya dalang, atau hanyalah wayang yang seolah-olah menampakkan diri sebagai dalang. Inilah lakon di panggung politik kita saat ini.
Dalam filosofi Jawa, dalang sebenarnya berakar dari makna mulia. Dalang dimaknai dalam akar kata wedha dan wulang. Wedha merupakan kitab suci agama yang memuat ajaran tentang moral, peraturan hidup, dan spiritualitas menuju Tuhan. Sedangkan wulang dapat diartikan sebagai mengajar serta menebar benih ilmu dan cinta dalam kehidupan. Pada arti yang lain, dalang juga dapat diartikan sebagai penyebar ilmu. Makna ini berakar kata angudal piwulang, yakni dalam proses menyebar ilmu bagi masyarakat.
Dalam Kakawin Arjunawiwaha, begawan Mpu Kanwa-pujangga pada masa pemerintahan Airlangga (1019-1042)-mengisahkan tentang pentingnya dalang dalam kosmologi hidup manusia (P.J. Zoetmoelder, 1983: 298). Ia mengungkap tentang bagaimana dalang menciptakan peran sentral dan konteks kemanusiaan. Dalang mampu menyihir rakyat dengan memberi visi pada kisah-kisah yang ditampilkan dengan media wayang.
Lalu, bagaimana transformasi makna dalang dalam dimensi bahasa saat ini? Dalam perkembangan peradaban bangsa, bahasa menjadi ruang untuk menampung dinamika pemikiran dan karakter sosial. Dalam konteks ini, perluasan makna dalang, dari penyebar ilmu menjadi aktor kunci di balik prahara maupun manuver politik, menjadi kekayaan berbahasa kita. Meski pada titik tertentu ada nuansa negatif yang muncul.
Pada kontestasi politik saat ini, kecermatan melihat aktor dan boneka, dalang dan wayang, lebih penting daripada sekadar terjebak pada isu maupun kampanye negatif. Mencermati dalang, bagaimana bentuk strategi, ideologi, dan akar kepentingan ekonomi-politik, akan mampu membuka tabir gelap tentang motif politik yang sebelumnya diselimuti kabut pencitraan maupun manipulasi informasi. Sedangkan mengikuti gerak langkah wayang hanya akan menangkap gerak bayang-bayang yang dipantulkan dari cahaya, dari alur strateginya. Inilah akar filosofi orang-orang Nusantara yang mampu menggerakkan manusia Indonesia agar lebih bersahaja.
Di panggung politik, kita perlu mencermati: apakah seseorang itu sejatinya dalang, ataukah wayang yang mengaku sebagai dalang?
Dalang Munawir Aziz ; Peneliti TEMPO.CO, 08 Mei 2014
Puppeteer in Indonesian wayang performance
The dhalang or dalang (Javanese: ꦝꦭꦁ dhalang; Indonesian: dalang) is the puppeteer in an Indonesian wayang performance.
In a performance of wayang kulit, the dalang sits behind a screen (kelir) made of white cotton stretched on a wooden frame. Above his head, hanging from beams attached to the top of the screen is the lamp (blencong), which projects the shadows onto the screen. In front of the dhalang is a stage (debog), traditionally made from the trunk of a banana tree, into which the sharpened control rods of the puppets can be pushed to keep them in position during the performance. To his left is the puppet chest (kotak), and to his right is the puppet chest's lid, on which the puppets sit ready for use.
In addition to moving the puppets and speaking their lines, the dalang is also responsible for giving cues to the gamelan. This is done principally by playing the kepyak, a metal plate or set of plates played with his foot, or by rapping on the puppet chest (kotak) with a wooden mallet held in the left hand.
The art of puppetry (pedhalangan) was traditionally handed down within families, and dalangs formed a type of informal caste within Javanese society. The women of these families traditionally were expert players of the gendér, an instrument that has a particularly important role in accompanying wayang performances. The sons of dalangs were often apprenticed out around the age of 13 to another dhalang. His role included helping to set up the screen ahead of a performance, performing the afternoon show before a main all-night wayang, and sometimes acting as an accompanying musician or as an assistant puppeteer. He would also frequently end up marrying his master's daughter, who would have been trained as a gendér player by her mother. The social aspects of the dalang caste are covered in Victoria Clara van Groenendael's book The Dalang Behind the Wayang (Dordrecht, 1985).
Much of the traditional training of dhalangs was in the form of a practical apprenticeship, with a certain amount of spiritual training thrown in. This included meditation and a form of ascetic exercise known as kungkum, in which meditation is carried out naked at night while immersed up to the neck in water. Such practices are felt to be essential in building up the stamina to perform for nine hours at a stretch. A further ascetic element is that dhalangs never eat during the performance, although almost all drink sweet tea and many also smoke heavily.
In recent times, however, schools teaching a standardized version of pedhalangan have been founded, such as the Habirandha school within the Kraton Yogyakarta. The Habirandha school published its textbook, the Pedhalangan Ngayogyakarta, in 1976. Standardized pedhalangan is also taught at Indonesian state institutions such as the Indonesian Institute of the Arts, Yogyakarta.
Pedhalangan falls into three main areas - musical, vocal, and puppetry. The musical aspects include the direction and cueing of the gamelan and the singing of mood-setting songs (sulukan), the vocal includes the recitation of set texts at scene-openings (kandha) and the extemporisation of dialogue showing mastery of Javanese linguistic etiquette, while the puppetry itself (sabetan) involves a complex system of movements and positions. There is an extensive study of sabetan in English by Roger Long (see Further reading).